Jumat, 16 Mei 2014

Etika dan Profesionalisme

1. Pengertian Etika
            Etika dapat diartikan sebagai nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, tindakan ataupun ucapannya.

·         Nilai

Nilai itu sendiri mencakup perangkat hal-hal yang dapat diterima dan hal-hal yang tidak dapat diterima dalam masyarakat.

·         Moral

Sedangkan Moral adalah semangat atau dorongan bathin dalam diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

2. Prinsip - prinsip Etika

·         Keindahan (Beauty)

·         Persamaan (Equity)

·         Kebaikan (Goodness)

·         Keadilan (Justice)

·         Kebebasan (Liberty)

·         Kebenaran (Truth)

Etika dibagi menjadi beberapa bagian, etika umum, khusus, profesi. Penjelasan etika secara umum, khusus, maupun profesi sebagai berikut ;

·         Etika Umum

o   Memiliki sikap jujur, optimis, kreatif, rasional, mampu berfikir kritis, rendah hati, demokratis, sopan, mengutamakan kejujuran akademik, menghargai waktu, dan terbuka terhadap perkembangan ipteks.

o   Mampu merancang, melaksanakan, dan menyelesaikan studi dengan baik.

o   Mampu menciptakan kehidupan kampus yang aman, nyaman, bersih, tertib, dan kondusif

o   Mampu bertanggungjawab secara moral, spiritual, dan sosial untuk mengamalkan ipteks



·         Etika khusus

o   Berpakaian rapi, bersih, sopan, serasi sesuai dengan konteks keperluan

o   Bergaul, bertegur sapa, dan bertutur kata dengan sopan,  wajar,  simpatik, edukatif, bermakna sesuai dengan norma  moral yang berlaku

o   Mengembangkan iklim penciptaan karya ipteks yang mencerminkan kejernihan hati nurani, bernuansa pengabdian pada Tuhan YME, dan mendorong pada kualitas hidup kemanusiaan.



·         Etika Profesi

o   mampu menerapkan fungsi manajemen dan kepemimpinan pendidikan dalam berbagai konteks.

o   memiliki wawasan tentang filosofi, strategi dan prosedur pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum untuk berbagai konteks.

o   memiliki wawasan yang luas tentang teknologi pembelajaran.

o   mampu menerapkan berbagai prinsip teknologi pembelajaran dalam berbagai konteks.

o   mampu memecahkan masalah pendidikan melalui teknologi pembelajaran.

o   mampu mengembangkan dan mempraktikkan kerja sama dalam bidangnya dengan pihak terkait.



3. Pengertian Profesi

Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup & yang mengandalkan suatu keahlian.

Adapun ciri – ciri profesi sebagai berikut ;

·         Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.

·         Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya  setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.

·         Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi  harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.

·         Izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.

·         Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi



4. Jenis Bidang Profesi

Terdapat dua jenis bidang profesi yaitu :

·          Profesi Khusus

Profesi khusus ialah para professional yang melaksanakan profesi secara khusus untuk mendapatkan nafkah atau penghasilan tertentu sebagai tujuan pokoknya, contohnya dokter, pendidik/guru, konsultan, dll.

·          Profesi Luhur

Profesi luhur adalah para professional yang melaksanakan profesinya tidak lagi untuk mendapatkan nafkah sebagai tujuan utamanya, tetapi sudah merupakan dedikasi atau sebagai jiwa pengabdiannya semata-mata, contohnya profesi pada bidang keagamaan dan seni.



5. Ciri Khas Profesi

Dalam International Encyclopedia of education, terdapat 10 ciri khas suatu profesi dikemukakan yaitu :

·         Suatu bidang pekerjaan yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus berkembang dan diperluas

·         Suatu teknik intelektual

·         Penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan praktis

·         Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi

·         Beberapa standar dan pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan

·         Kemampuan untuk kepemimpinan pada profesi sendiri

·         Asosiasi dari anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang erat dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggotanya

·         Pengakuan sebagai profesi

·         Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi

·         Hubungan yang erat dengan profesi lain

Kebudayaan Indonesia Diklaim oleh Malaysia

Keberagaman budaya yang dimiliki oleh negara Indonesia sering kali mengundang perhatian dari negara – negara lain untuk ingin tahu lebih dalam tentang keunikan – keunikan budaya yang kita miliki. Indonesia terkenal sebagai bangsa yang luhur. Memiliki keragaman budaya yang tersebar di pelosok-pelosok nusantara. Dari kesenian, adat-istiadat hingga makanan melekat mewarnai keragaman bangsa ini. Tidak heran jika begitu banyaknya budaya yang kita miliki, justru membuat kita tidak mengetahui apa saja budaya yang ada Indonesia. Bahkan kita sendiri pun sebagai generasi muda terkadang melupakan budaya daerah kita. Sangat ironis rasanya, orang Indonesia tetapi tidak mengenal ciri khas bangsanya sendiri. Ketertarikan budaya yang semakin meluntur juga sangat nampak pada diri generasi muda saat ini. Faktor penyebab mudahnya budaya Indonesia luntur dari masyarakat indonesia dan diklaim oleh negara lain, antara lain :

1.      Begitu bebas budaya yang masuk dari berbagai arus kehidupan. Generasi muda kita yang terkesan bosan dengan budaya yang mereka anggap kuno dan tanpa disadari budaya dari luar justru kerap berimbas buruk bagi bangsa ini. Misalnya budaya berpakaian, gaya hidup (life style), segi iptek, maupun adat-istiadat. Kesemua itu berdampak sangat buruk dan dapat dengan mudah dapat menggeser budaya asli yang ada di Indonesia.
2.      Kesadaran generasi muda yang kurang akan pentingnya budaya. Untuk mempertahankan budaya memang sangat dibutuhkan kesadaran yang kuat. Tidak hanya mengakui tetapi harus ikut serta dalam pelestarian budaya. Dari kesadaran itulah akan muncul upaya-upaya menjaga, melindungi budaya asli daerah sehingga akan tetap utuh. Sehingga, tidak mungkin akan diakui negara lain.
3.      Perpindahan penduduk menyebabkan budaya kita diakui oleh negara lain.
Saat ini banyak penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri. Bahkan banyak pula yang telah menetap di sana menjadi warga negara tempat ia tinggal. Perpindahan tersebut tidak menutup kemungkinan akan diikuti perpindahan budaya. Budaya-budaya dari Indonesia pasti ada yang diterapkan di negara lain tempat mereka bekerja. Inilah yang menyebabkan keinginan negara lain untuk mengakui budaya Indonesia. Karena mereka menganggap budaya itu sudah biasa mereka lihat di negaranya.
4.      Pemerintah kurang perhatian terhadap kekayaan budaya nasional. Buktinya, salah satu kesenian dari Jawa Timur yaitu Reog Ponorogo sempat menjadi perdebatan kepemilikan dengan pihak Malaysia. Padahal dari namanya saja sudah jelas bahwa itu milik Indonesia. Sebenarnya hal itu bisa disiasati dengan mendaftarkan hak cipta budaya. Supaya dunia internasional mengakui atas kememilikan budaya Indonesia. Kemudian, kurangnya sarana untuk menampilkan budaya asli Indonesia kepada masyarakat luas. Ini bukan masalah yang kecil, melainkan masalah yang menyangkut ciri khas bangsa kita. Harus segera diatasi, agar tidak ada lagi budaya kita yang diambil pihak luar.
5 Daftar kebudayaan Indonesia yang diklaim oleh negara tetangga, yaitu :
1.      Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia

Lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan  kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar bulan Oktober 2007. Sementara Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago), Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu "Rasa Sayange" adalah milik Indonesia karena ia merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi Maluku sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu adalah salah. Gubernur melihat bukti otentik bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Maluku, dan setelah bukti tersebut terkumpul, akan diberikan kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Menteri Pariwisata Malaysia menyatakan bahwa rakyat Indonesia tidak bisa membuktikan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu rakyat Indonesia. Bagaimanapun, bukti tersebut akhirnya ditemukan. 'Rasa Sayange' diketahui direkam pertama kali di perusahaan rekaman Lokananta Solo 1962. Pada tanggal 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik Indonesia. Namun, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Malaysia menyebutkan bahwa mereka mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik bersama, antara Indonesia dan Malaysia

2.      Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia

Setelah gagal mengklaim lagu Rasa Sayange, Malaysia mencoba mengklaim kesenian yang lain. Adalah kesenian rakyat Jawa Timur: Reog Ponorogo yang diklaim Malaysia sebagai kesenian mereka. Kalau kesenian Wayang Kulit yang mereka klaim tidak diubah namanya maka Reog mungkin karena ada embel embel nama daerah Ponorogo maka namanya diubah menjadi Tarian Barongan. Padahal wujud Reog itu bukan naga seperti Barongsai tapi wujud harimau dan burung merak. Malaysia bingung mencari nama baru sehingga dapat yang mudah saja, Tarian Barongan. Bukan itu saja, kisah dibalik tarian itupun diubah. Mirip seperti mereka mengubah lirik lagu Rasa Sayange. Kalau saja mereka menyertakan informasi dari mana asal tarian tersebut maka tidak akan ada yang protes.


3.      Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia



Gamelan Jawa adalah salah satu alat musik khas Jawa yang terdiri dari berbagai macam alat musik. Namun Negeri jiran Malaysia memasukan alat musik gamelan dalam daftar kesenian dan budaya warisan kebangsaan Malaysia. Malaysia bahkan telah mendaftarkan paten gamelan pada 23 Februari 2009. Yang mengejutkan, dalam dua bulan terakhir Malaysia sudah memesan gamelan dari Kota Solo. Gamelan itu dipesan dari sejumlah perajin gamelan yang tersebar di Kota Solo.

4.      Kain Ulos oleh Malaysia



Kain Ulos dari Sumatera Utara tahun 2008 Dipertunjukkan sebagai Kebudayaan Malaysia Menurut informasi yang diperoleh, kain ulos tersebut digunakan pada acara yang mewakili kebudayan negara-negara yang ada di Malaysia. Kain dipakai dalam suatu tarian, yang kalau tidak salah jenisnya ‘ragi hotang’, dengan tarian yang mirip tortor, hanya tangan mereka tidak ‘manyomba’ di depan dada, tapi diletakkan di samping paha kiri dan kanan dan kakinya ‘manyerser’ –serser

5.      Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia



Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para senimanBali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi. Namun Tari pendet menjadi sorotan media Indonesia karena tampil dalam program televisi Enigmatic Malaysia Discovery Channel. Menurut pemerintah Malaysia, mereka tidak bertanggung jawab atas iklan tersebut karena dibuat oleh Discovery Channel Singapura, kemudian Discovery TV melayangkan surat permohonan maaf kepada kedua negara, dan menyatakan bahwa jaringan televisi itu bertanggung jawab penuh atas penayangan iklan program tersebut. Meskipun demikian, insiden penayangan pendet dalam program televisi mengenai Malaysia ini sempat memicu sentimen Anti-Malaysia di Indonesia.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Pendethttp://mantra-tugasku.blogspot.com/2011/11/kekayaan-indonesia-yang-dicuri-dan.htm

Kekerasan Serta Kebebasan pada Pers Sebelum dan Sesudah Reformasi

I.              Pendahuluan
Kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers

Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.



  II.              Kekerasan yang terjadi pada pers

Ada bermacam risiko yang dihadapi wartawan, baik secara fisik, psikologis maupun ancaman dari negara dan penguasa dengan ancaman hukuman penjara. Risiko secara fisik contohnya pemukulan, aksi premanisme, pengrusakan peralatan seperti kamera dan alat rekam, penculikan, penganiyaan, penyerangan terhadap kantor media hingga pembunuhan. Berikut adalah contoh kekerasan pada pers

1.     Kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifudin atau dikenal Udin wartawan Bernas Jogja pada tahun 1996 yang hingga sekarang tidak juga terungkap, menjadi salah satu contoh. Pria usia 33 tahun itu meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah mendapat tiga hari perawatan di rumah sakit Bethesda Yogyakarta usai dipukuli.(Santoso, 1997).

2.     kasus AA Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali yang dipastikan oleh Kapolda Bali tewas dibunuh setelah menulis pemberitaan terkait penyimpangan di Dinas Pendidikan. I Nyoman Susrama, adik kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa, yang kini dijerat sebagai tersangka pelaku pembunuhan terhadap korban Prabangsa. Lebih beruntung dari Udin yang kasusnya belum juga terungkap selama 17 tahun ini, kasus Prabangsa yang terjadi pada tahun 2009 sudah menyeret pelaku pembunuhan ke meja hijau.

3.     Kasus Harian Rakyat Merdeka pada tahun 2003. Redaktur Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Supratman divonis bersalah karena menurunkan berita yang ditulis wartawannya dengan judul “Mulut Mega Bau Solar” (2003), “Mega Lintah Darat” (2003), “Mega Lebih Ganas dari Sumanto (2003) dan “Mega Cuma Sekelas Bupati” (2003).



 III.            Pers pada era orde baru

Di era orde baru penerbitan pers mendapat pengawasan ketat dari pemerintah. “Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan (pencabutan izin terbit). Peran Departemen Penerangan kala itu memiliki power yang sangat besar mengontrol seluruh media massa di Indonesia. Bahkan jumlah media massa pun dibatasi jumlahnya oleh departemen ini.

Salah satu kasus yang menjadi sejarah tak terlupakan adalah dua kali kasus pembredelan pada media Tempo yang merupakan salah satu media nasional paling berpengaruh pada masa itu. Pertama kalinya pada tahun 1982 karena mengkritik Orde Baru dan kendaraan politiknya Golkar pada saat Pemilu. Kali kedua 21 Juni 1994 ada tiga media yaitu Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin setelah menginvestigasi penyelewengan pejabat negara dan dipublikasikan.

Selanjutnya pada zaman orde baru, kedudukan dan fungsi Dewan Pers tidak berubah yaitu masih menjadi penasehat Pemerintah, terutama untuk Departemen Penerangan. Hal ini didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Tetapi terjadi perubahan perihal keterwakilan dalam unsur keanggotaan Dewan Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 : “Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain.

(elihat isi undang-undang tersebut, keberadaan Dewan Pers bisa diibaratkan hanya formalitas. Akibatnya, fungsi dan peran pers tidak bisa berjalan dengan maksimal. Sama sekali tidak ada perlindungan negara bagi wartawan pers untuk menjalankan tugasnya.

 IV.            Pers pada era reformasi

Kebebasan pers menemukan titik terang setelah runtuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Momentum reformasi inilah yang kemudian dijadikan celah bagi pers untuk membebaskan diri dari belenggu penguasa. Pers kembali mengambil alih peran dan fungsinya sebagai wadah dan corong pembentukan opini public dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap negara.

Zaenuddin HM (2007:4) dalam bukunya The Journalist menuliskan ada enam fungsi media massa :

1.      Menyebarkan informasi kepada khayalak.

2.      Menyalurkan pendapat umum ; menyalurkan aspirasi, pendapat, komentar, kritik dan saran dari masyarakat.

3.      Media menjadi wahana pendidikan dengan memberikan informasi yang mengandung nilai-nilai edukatif.

4.      Media berfungsi sebagai media hiburan.

5.      Media berfungsi sebagai alat kontrol social (society control) dalam kehidupan berbangsa dan bernehara.

6.      Media berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Selanjutnya wartawan dan pers nasional dalam melakoni profesi jurnalistiknya melaksanakan tugas yang cuku berat, yakni :

1.      Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.

2.      Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.

3.      Mendorong tegaknya supremasi hukum dan Hak Azasi Manusia.

4.      Mengembangkan pendapat umum berdasarkan yang tepat, akurat dan benar.

5.      Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

6.      Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

7.      Fenomena perubahan besar bagi pers untuk mengekspresikan kebebasan ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.

Di sisi lain, kebebasan pers yang didengungkan seiring dengan membanjirnya perusahaan pers di era reformasi, belum sepenuhnya memberikan perlindungan penuh terhadap wartawan. Meski pada Pasal 8 Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers secara eksplisit menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum, namun perlindungan hukum tidak jelas dan tegas.

Perlindungan yang dirasakan masih lebih kepada perlindungan represif dan mengedepankan ranah hukum. Adapun penggunaan hak jawab termuat pada Pasal 5 ayat (2) UU Pers Pers wajib melayani Hak Jawab. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Namun yang terjadi, penanggung jawab pemberitaan di perusahaan media justru malah bisa menjadi terdakwa atas produk jurnalistik yang diterbitkannya.

Dari segi jaminan keselamatan, juga belum ada produk hukum yang secara spesifik melindungi wartawan saat menjalankan pekerjaannya. Termasuk dari perusahaan persnya sendiri. Standar perlindungan wartawan yang termaktub di dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 5/Peraturan-DP/IV2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan juga belum memuat sanksi tegas.

Dalam Peraturan tersebut dinyatakan antara lain bahwa wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan, penyitaan, dan atau perampasan alat-alat kerja serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun. Peraturan itu juga menyatakan bahwa wartawan yang ditugasi di wilayah berbahaya dan atau wilayah konflik harus dibekali surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan penugasannya. Pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada juga satupun perusahaan media yang disanksi tegas ketika tidak menjalankan standar perlindungan wartawan.

Dengan minimnya perlindungan negara melalui undang-undang terhadap profesi wartawan, maka hendaknya setiap insan wartawan dapat melindungi dirinya sendiri. Kekerasan terhadap wartawan juga bisa muncul sebagai akibat kurangnya etika dalam menjalankan tugas, harus dibenahi.

  V.              Kesimpulan

Kebebasan pers dan perlindungan Undang-Undang 14 Tahun 1999 tentang Pers antara era Orde Baru dan reformasi belum maksimal. Kebebasan pers yang didengungkan bergulir sejak reformasi belum sepenuhnya tidak sejalan dengan bentuk pemerintahan Indonesia yang menganut system demokrasi. Bahkan perangkat negaranya pun masih ada yang alergi anti kritik atas fungsi pengawasan yang dilakukan jurnalis. Perlindungan wartawan dalam mengemban tugas, bukan hanya belum sepenuhnya didapat dari negara, tapi juga dari perusahaan media tempat wartawan bernaung.



Sumber :