Kebebasan pers di Indonesia pada masa pemerintahan
Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh
kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita tidak boleh
bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto,
kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo,
ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif,
dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila
kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk
menentukan corak dan arah isi pers
Bagi
Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846,
yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau
sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula,
pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin
terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol
terhadap pers perlu dilakukan.
II.
Kekerasan
yang terjadi pada pers
Ada bermacam risiko yang dihadapi wartawan, baik secara
fisik, psikologis maupun ancaman dari negara dan penguasa dengan ancaman
hukuman penjara. Risiko secara fisik contohnya pemukulan, aksi premanisme,
pengrusakan peralatan seperti kamera dan alat rekam, penculikan, penganiyaan,
penyerangan terhadap kantor media hingga pembunuhan. Berikut adalah contoh
kekerasan pada pers
1. Kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifudin
atau dikenal Udin wartawan Bernas Jogja pada tahun 1996 yang hingga sekarang
tidak juga terungkap, menjadi salah satu contoh. Pria usia 33 tahun itu
meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah mendapat tiga hari perawatan di rumah
sakit Bethesda Yogyakarta usai dipukuli.(Santoso, 1997).
2. kasus AA Narendra Prabangsa, wartawan Radar
Bali yang dipastikan oleh Kapolda Bali tewas dibunuh setelah menulis
pemberitaan terkait penyimpangan di Dinas Pendidikan. I Nyoman Susrama, adik
kandung Bupati Bangli I Nengah Arnawa, yang kini dijerat sebagai tersangka
pelaku pembunuhan terhadap korban Prabangsa. Lebih beruntung dari Udin yang
kasusnya belum juga terungkap selama 17 tahun ini, kasus Prabangsa yang terjadi
pada tahun 2009 sudah menyeret pelaku pembunuhan ke meja hijau.
3. Kasus Harian Rakyat Merdeka pada tahun 2003.
Redaktur Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa
percobaan 12 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Supratman divonis
bersalah karena menurunkan berita yang ditulis wartawannya dengan judul “Mulut
Mega Bau Solar” (2003), “Mega Lintah Darat” (2003), “Mega Lebih Ganas dari
Sumanto (2003) dan “Mega Cuma Sekelas Bupati” (2003).
III.
Pers pada era orde baru
Di era orde baru penerbitan pers mendapat pengawasan
ketat dari pemerintah. “Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers
pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22).
Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah
pembredelan (pencabutan izin terbit). Peran Departemen Penerangan kala itu
memiliki power yang sangat besar mengontrol seluruh media massa di Indonesia.
Bahkan jumlah media massa pun dibatasi jumlahnya oleh departemen ini.
Salah satu kasus yang menjadi sejarah tak terlupakan
adalah dua kali kasus pembredelan pada media Tempo yang merupakan salah satu
media nasional paling berpengaruh pada masa itu. Pertama kalinya pada tahun
1982 karena mengkritik Orde Baru dan kendaraan politiknya Golkar pada saat
Pemilu. Kali kedua 21 Juni 1994 ada tiga media yaitu Tempo, deTIK, dan editor
dicabut surat izin setelah menginvestigasi penyelewengan pejabat negara dan
dipublikasikan.
Selanjutnya pada zaman orde baru, kedudukan dan fungsi
Dewan Pers tidak berubah yaitu masih menjadi penasehat Pemerintah, terutama
untuk Departemen Penerangan. Hal ini didasari pada Undang-Undang No. 21 Tahun
1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Tetapi terjadi perubahan perihal keterwakilan
dalam unsur keanggotaan Dewan Pers seperti yang dinyatakan pada Pasal 6 ayat
(2) UU No. 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana
Telah Diubah Dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1967 : “Anggota Dewan Pers
terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam
hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain.
(elihat isi undang-undang
tersebut, keberadaan Dewan Pers bisa diibaratkan hanya formalitas. Akibatnya,
fungsi dan peran pers tidak bisa berjalan dengan maksimal. Sama sekali tidak
ada perlindungan negara bagi wartawan pers untuk menjalankan tugasnya.
IV.
Pers pada era reformasi
Kebebasan pers menemukan titik terang setelah
runtuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan
adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa
orde baru terbelenggu. Momentum reformasi inilah yang kemudian dijadikan celah
bagi pers untuk membebaskan diri dari belenggu penguasa. Pers kembali mengambil
alih peran dan fungsinya sebagai wadah dan corong pembentukan opini public
dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap negara.
Zaenuddin HM (2007:4) dalam bukunya The Journalist
menuliskan ada enam fungsi media massa :
1. Menyebarkan informasi kepada khayalak.
2. Menyalurkan pendapat umum ; menyalurkan aspirasi,
pendapat, komentar, kritik dan saran dari masyarakat.
3. Media menjadi wahana pendidikan dengan memberikan
informasi yang mengandung nilai-nilai edukatif.
4. Media berfungsi sebagai media hiburan.
5. Media berfungsi sebagai alat kontrol social (society
control) dalam kehidupan berbangsa dan bernehara.
6. Media berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Selanjutnya wartawan dan pers nasional dalam melakoni
profesi jurnalistiknya melaksanakan tugas yang cuku berat, yakni :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.
3. Mendorong tegaknya supremasi hukum dan Hak Azasi
Manusia.
4. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan yang tepat,
akurat dan benar.
5. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
6. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
7. Fenomena perubahan besar bagi pers untuk
mengekspresikan kebebasan ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan
elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik
penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Di sisi lain, kebebasan pers yang didengungkan seiring
dengan membanjirnya perusahaan pers di era reformasi, belum sepenuhnya
memberikan perlindungan penuh terhadap wartawan. Meski pada Pasal 8
Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers secara eksplisit menyatakan bahwa
dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum, namun
perlindungan hukum tidak jelas dan tegas.
Perlindungan yang dirasakan
masih lebih kepada perlindungan represif dan mengedepankan ranah hukum. Adapun
penggunaan hak jawab termuat pada Pasal 5 ayat (2) UU Pers Pers wajib melayani
Hak Jawab. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya. Namun yang terjadi, penanggung jawab pemberitaan di perusahaan media
justru malah bisa menjadi terdakwa atas produk jurnalistik yang diterbitkannya.
Dari segi jaminan keselamatan,
juga belum ada produk hukum yang secara spesifik melindungi wartawan saat
menjalankan pekerjaannya. Termasuk dari perusahaan persnya sendiri. Standar
perlindungan wartawan yang termaktub di dalam Peraturan Dewan Pers Nomor:
5/Peraturan-DP/IV2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan juga belum
memuat sanksi tegas.
Dalam Peraturan tersebut
dinyatakan antara lain bahwa wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan,
penyitaan, dan atau perampasan alat-alat kerja serta tidak boleh dihambat atau
diintimidasi oleh pihak manapun. Peraturan itu juga menyatakan bahwa wartawan
yang ditugasi di wilayah berbahaya dan atau wilayah konflik harus dibekali
surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta
pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan
penugasannya. Pada kenyataannya, hingga saat ini belum ada juga satupun perusahaan
media yang disanksi tegas ketika tidak menjalankan standar perlindungan
wartawan.
Dengan minimnya perlindungan
negara melalui undang-undang terhadap profesi wartawan, maka hendaknya setiap
insan wartawan dapat melindungi dirinya sendiri. Kekerasan terhadap wartawan
juga bisa muncul sebagai akibat kurangnya etika dalam menjalankan tugas, harus
dibenahi.
V.
Kesimpulan
Kebebasan pers dan perlindungan Undang-Undang 14 Tahun
1999 tentang Pers antara era Orde Baru dan reformasi belum maksimal. Kebebasan
pers yang didengungkan bergulir sejak reformasi belum sepenuhnya tidak sejalan
dengan bentuk pemerintahan Indonesia yang menganut system demokrasi. Bahkan
perangkat negaranya pun masih ada yang alergi anti kritik atas fungsi
pengawasan yang dilakukan jurnalis. Perlindungan wartawan dalam mengemban
tugas, bukan hanya belum sepenuhnya didapat dari negara, tapi juga dari
perusahaan media tempat wartawan bernaung.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar